Moslem Side
Kyai Hamid
Dewasa ini. Kita pasti mengetahui,
bahwasanya guru mana yang tidak
mau semua muridnya berhasil dan
sukses dalam mata pelajarannya.
Tak ayal jika guru ketika berada di
rumah sang guru mondar-mandir,
ke sana ke mari, hanya perlu
memikirkan metode pengajaran
yang mudah dipaham oleh para
muridnya.
Hal inilah yang pernah dialami oleh
Ust. H. Syamsul huda, seniman
kaligrafi berkaliber nasional jebolan
Pondok Pesantren Salafiyah. Selain
sangat ahli dalam masalah seni tulis
dan lukis kaligrafi, beliau juga sangat
ahli dalam masalah ilmu Nahwu.
Al-Kisah dahulu, ketika Ust. Syamsul
masih mengajar ilmu nahwu di
Pon-Pes Salafiyah, Mulai ba ’da shalat
shubuh Ust. Syamsul mulai mondar
mandir di depan kantor madrasah
salafiyah. Yang dia pikirkan tiada lain
adalah menggunakan metode
apakah yang paling tepat agar
semua anak didiknya mendapat nilai
bagus semua. Padahal jika dilihat,
nilai siswa pada pelajaran nahwu
yang diajarkan oleh Ust. Syamsul
terbilang lumayan relatif, seperti
layaknya sekolah-sekolah formal
yang lain pastilah ada satu dua anak
yang dapat niali merah.
Sudah hampir jam masuk sekolah
Ust. Syamsul masih saja mondar-
mandir di depan kantor madrasah.
Ketika itu Kiai Hamid yang berada di
teras ndalem melihat Ust. Syamsul
yang terlihat seperti orang linglung.
Kiai Hamid pun datang
menghampiri Ust. Syamsul.
“Sul… ayo melok aku.” (Sul… Ayo
ikut Saya).
Ajak Kiai Hamid. Lalu,
Ustad yang kini mengisi jajaran staf
pengajar di madrasah tsanawiyah
dan aliyah tersebut digandeng
tangannya sampai di samping
ndalem (kediaman) Kiai Hamid. Di
situ Ust. Syamsul ditunjukkan
sebuah pohon kelapa yang masih
sedikit buahnya.
“Sul…awakmu weroh ta lek krambil
iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo
onok singlugur, onok sing dadi
degan langsung di ondoh, onok
seng dadi kelopo iku mek titik, loh
ngono iku mau masio wes dadi
kelopo kadang sekdipangan bajing.
Cobak pikiren mane, seumpamane
lek kembang iku dadi kabeh,
singsakaken iku uwite nggak kuat
engkok ”.
(Sul… apakah kamu tahu, kalau
“krambil” (bunga kelapa) itu tidak
akan jadi kelapa semuanya. Ya ada
yang terjatuh, ada yang masih jadi
degan akan tetapi sudah diambil,
ada juga yang sudah jadi kelapa, itu
pun sedikit. Walau pun sudah jadi
kelapa, terkadang belum dipanen
sudah dimakan sama tupai dulu.
Coba kamu pikir, kalau bunga itu
jadi kelapa semua, yang kasihan itu
pohonnya, pasti tidak akan kuat.)
ujar Kiai Hamid. Belum Ust.
Syamsul menjawab Kiai Hamid
melanjutkan lagi.
“anggepen ae wet
kelopo iku mau guru, lek onok guru
muride dadi kabeh yo angel, yo
onok sing bijine elek, yo onok sing
pas-pasan. Yo onok mane sing apik.
Engko lek muride oleh nilai apik
kabeh sak ’aken gurune, biso-biso lek
nggak kuat guru iku mau biso
ngomong “ikiloh didikanku, dadi
kabeh sopo disek gurune” lah akhire
isok nimbulno sifat sombong.
Paham awakmu Sul? Lek paham
wes ndang ngajaro, sekolahe wes
wayahe melebu. ”
(anggap saja
pohon kelapa itu tadi adalah guru.
Kalau ada seorang guru yang
muridnya sukses semua itu sangat
sulit. Ya pastinya ada yang nilainya
jelek, ada yang nilainya biasa-biasa,
dan ada juga yang nilainya bagus.
Nanti kalau nilai muridnya bagus
semua yang kasihan adalah
gurunya. Bisa-bisa guru tersebut
berbicara “ini loh, anak didikku,
semuanya sukses, siapa dulu
gurunya ” lah, akhirnya bisa
menimbulkan sifat sombong.
Kamu paham Sul? Kalau paham
cepat mengajar, sudah waktunya
jam masuk sekolah.) tambah Kiai
Hamid.
Tanpa menjawab Ust.Syamsul pun langsung undur diri dari Kiai Hamid.
Subhanalloh …
padahal, Ust Syamsul belum
bercerita sedikit pun, akan tetapi
sudah menjawab semua yang
dikeluhkan oleh Ust. Syamsul,
dengan menggunakan sebuah
filosofi pohon kelapa.
Setiba dikelas Ust. Syamsul masih
terpikir oleh ucapan Kiai Hamid tadi.
“ benar juga apa yang dikatakan oleh beliau (Kiai Hamid”. Ujar Ust.
Syamsul dalam hati. Sebaiknya
cerita ini bisa menjadi ibrah bagi
para guru, agar tidak terlalu berkecil
hati ketika ada satu-dua anak
didiknya yang didak mampu pada
pelajaran yang guru ajarkan. Dibalik
itu semua pasti aka nada
hikmahnya …
disadur dari blog pecinta rasulullah
Kyai Hamid
Dewasa ini. Kita pasti mengetahui,
bahwasanya guru mana yang tidak
mau semua muridnya berhasil dan
sukses dalam mata pelajarannya.
Tak ayal jika guru ketika berada di
rumah sang guru mondar-mandir,
ke sana ke mari, hanya perlu
memikirkan metode pengajaran
yang mudah dipaham oleh para
muridnya.
Hal inilah yang pernah dialami oleh
Ust. H. Syamsul huda, seniman
kaligrafi berkaliber nasional jebolan
Pondok Pesantren Salafiyah. Selain
sangat ahli dalam masalah seni tulis
dan lukis kaligrafi, beliau juga sangat
ahli dalam masalah ilmu Nahwu.
Al-Kisah dahulu, ketika Ust. Syamsul
masih mengajar ilmu nahwu di
Pon-Pes Salafiyah, Mulai ba ’da shalat
shubuh Ust. Syamsul mulai mondar
mandir di depan kantor madrasah
salafiyah. Yang dia pikirkan tiada lain
adalah menggunakan metode
apakah yang paling tepat agar
semua anak didiknya mendapat nilai
bagus semua. Padahal jika dilihat,
nilai siswa pada pelajaran nahwu
yang diajarkan oleh Ust. Syamsul
terbilang lumayan relatif, seperti
layaknya sekolah-sekolah formal
yang lain pastilah ada satu dua anak
yang dapat niali merah.
Sudah hampir jam masuk sekolah
Ust. Syamsul masih saja mondar-
mandir di depan kantor madrasah.
Ketika itu Kiai Hamid yang berada di
teras ndalem melihat Ust. Syamsul
yang terlihat seperti orang linglung.
Kiai Hamid pun datang
menghampiri Ust. Syamsul.
“Sul… ayo melok aku.” (Sul… Ayo
ikut Saya).
Ajak Kiai Hamid. Lalu,
Ustad yang kini mengisi jajaran staf
pengajar di madrasah tsanawiyah
dan aliyah tersebut digandeng
tangannya sampai di samping
ndalem (kediaman) Kiai Hamid. Di
situ Ust. Syamsul ditunjukkan
sebuah pohon kelapa yang masih
sedikit buahnya.
“Sul…awakmu weroh ta lek krambil
iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo
onok singlugur, onok sing dadi
degan langsung di ondoh, onok
seng dadi kelopo iku mek titik, loh
ngono iku mau masio wes dadi
kelopo kadang sekdipangan bajing.
Cobak pikiren mane, seumpamane
lek kembang iku dadi kabeh,
singsakaken iku uwite nggak kuat
engkok ”.
(Sul… apakah kamu tahu, kalau
“krambil” (bunga kelapa) itu tidak
akan jadi kelapa semuanya. Ya ada
yang terjatuh, ada yang masih jadi
degan akan tetapi sudah diambil,
ada juga yang sudah jadi kelapa, itu
pun sedikit. Walau pun sudah jadi
kelapa, terkadang belum dipanen
sudah dimakan sama tupai dulu.
Coba kamu pikir, kalau bunga itu
jadi kelapa semua, yang kasihan itu
pohonnya, pasti tidak akan kuat.)
ujar Kiai Hamid. Belum Ust.
Syamsul menjawab Kiai Hamid
melanjutkan lagi.
“anggepen ae wet
kelopo iku mau guru, lek onok guru
muride dadi kabeh yo angel, yo
onok sing bijine elek, yo onok sing
pas-pasan. Yo onok mane sing apik.
Engko lek muride oleh nilai apik
kabeh sak ’aken gurune, biso-biso lek
nggak kuat guru iku mau biso
ngomong “ikiloh didikanku, dadi
kabeh sopo disek gurune” lah akhire
isok nimbulno sifat sombong.
Paham awakmu Sul? Lek paham
wes ndang ngajaro, sekolahe wes
wayahe melebu. ”
(anggap saja
pohon kelapa itu tadi adalah guru.
Kalau ada seorang guru yang
muridnya sukses semua itu sangat
sulit. Ya pastinya ada yang nilainya
jelek, ada yang nilainya biasa-biasa,
dan ada juga yang nilainya bagus.
Nanti kalau nilai muridnya bagus
semua yang kasihan adalah
gurunya. Bisa-bisa guru tersebut
berbicara “ini loh, anak didikku,
semuanya sukses, siapa dulu
gurunya ” lah, akhirnya bisa
menimbulkan sifat sombong.
Kamu paham Sul? Kalau paham
cepat mengajar, sudah waktunya
jam masuk sekolah.) tambah Kiai
Hamid.
Tanpa menjawab Ust.Syamsul pun langsung undur diri dari Kiai Hamid.
Subhanalloh …
padahal, Ust Syamsul belum
bercerita sedikit pun, akan tetapi
sudah menjawab semua yang
dikeluhkan oleh Ust. Syamsul,
dengan menggunakan sebuah
filosofi pohon kelapa.
Setiba dikelas Ust. Syamsul masih
terpikir oleh ucapan Kiai Hamid tadi.
“ benar juga apa yang dikatakan oleh beliau (Kiai Hamid”. Ujar Ust.
Syamsul dalam hati. Sebaiknya
cerita ini bisa menjadi ibrah bagi
para guru, agar tidak terlalu berkecil
hati ketika ada satu-dua anak
didiknya yang didak mampu pada
pelajaran yang guru ajarkan. Dibalik
itu semua pasti aka nada
hikmahnya …
disadur dari blog pecinta rasulullah
0 Comments